Perjalanan masih berlanjut. Singkat cerita, kami akan
melanjutkan eksplorasi kami di salah satu gunung yang memiliki reputasi
“misterius” di Toraja. Terletak di Lembang Balla’, Kecamatan Bittuang dengan puncak tertinggi 2735 mdpl, tapi untuk
mencapai puncak tertinggi itu kami harus melewati tujuh puncakan terlebih
dahulu, sehingga total puncakan yang dilalui sebanyak delapan puncak. Inilah
asal-muasal kata Karua sebagai nama dari buntu (gunung) tersebut, dimana
“karua” itu sendiri memiliki arti “delapan”.
Diawali dengan “pemanasan” dengan berjalan-jalan (sambil
eksplor data tentunya) di sumber air panas yang terletak di sekitar kaki gunung
di hari pertama, dan lanjut jalan-jalan di sekitaran kaki Buntu Karua sisi yang
lain pada hari kedua. Tibalah saat untuk packing
alat, bersiap menjelajah rimbunnya hutan Buntu Karua. Dengan membawa perbekalan
logistik secukupnya, alat-alat penelitian seperti binoculair, sweep-net dan
sebagainya, serta senjata api yang masing-masing dibawa oleh personil dari TNI
untuk pengamanan, kami memulai eksplorasi di Buntu Karua.
Berangkat dari rumah singgah milik Bapak Bagenda,
seorang tetua adat di Lembang Balla’, kami langsung menuju ke jalur pendakian
ke puncak Buntu Karua. Sesampai di pos 2 pendakian turunlah hujan, sehingga
memaksa kami menghentikan perjalanan sejenak untuk sekadar berteduh dan
istirahat sejenak sambil makan makanan ringan yang kami bawa. Begitu hujan
reda, kami pun melanjutkan perjalanan. Sambil berjalan, tengok kanan-kiri, atas-bawah
melihat dengan cepat dan cermat setiap sudut sisi pohon dan pergerakan untuk
menemukan flora ataupun fauna yang menjadi target penelitian kami. Satu-persatu
jenis-jenis anggrek baik epifit atau higrofit, burung-burung dan seekor mamalia
kecil yang awalnya kami kira salah satu spesies bajing, ternyata seekor Kuskus kerdil
sulawesi/Little Celebes Cuscus (Phalanger celebensis) kami temui.
Sesaat sebelum sampai di pos 5 pendakian kami berhenti
dan tercengang sejenak melihat sebuah kenyataan bahwa di situ terdapat sebuah
gubuk yang terbuat dari papan kayu kokoh dan beberapa papan kayu serta tahi
gergaji yang berserakan bekas aktifitas logging
kayu secara illegal. Tanpa pikir
panjang, kami catat koordinat titik ini. Setiba di pos 5 kami putuskan untuk
istirahat 15 menit melepas beban carrier sembari mengitari areal pos 5 mencari
data flora-fauna di situ, tetapi kami hanya dapat menemukan (lagi-lagi)
feses/kotoran Anoa yang masih cukup fresh
(diperkirakan baru semalam) yang menandakan bahwa di areal tersebut masih bisa
kita jumpai satwa yang satu ini.
Perjalanan dilanjutkan sampai pos 7 pendakian
(puncakan ke 7) dan kami putuskan untuk beristirahat dan bermalam di situ
karena hari sudah mulai gelap serta suhu udara yang semakin dingin. Bermodal 4
buah tenda perorangan (yang lebih pas disebut bivouac dalam Bahasa Perancis) kami bangun “rumah sementara” kami
untuk 7 orang personil tim peneliti flora-fauna. Sambil berbalut baju hangat
kami mulai memasak nasi dan lauk untuk makan malam didinginnya hawa malam
gunung. Selepas makan malam, tanpa pikir panjang kami langsung tarik sleeping bag atau pun sarung sebagai
penghangat tidur kami malam itu guna mempersiapkan tenaga dan stamina untuk
kegiatan keesokan paginya.
suasana tempat istirahat malam |
Sejak pukul 03.00 WITA kami semua sudah terbangun oleh
suhu yang semakin dingin dan terasa menusuk tulang (meskipun sudah memakai baju
hangat dan berbalut sleeping bag)
namun masing-masing bertahan di dalam SB sebagai tempat ternyaman saat itu
sembari menunggu fajar. Saking dinginnya, akhirnya salah satu dari kami
berinisiatif untuk menyalakan api dan mulai memasak menu sarapan pagi dan
satu-persatu dari kami beranjak dari “tempat nyaman” tersebut.
Selesai sarapan, kami langsung mengemas barang-barang
kami dan segera melanjutkan perjalanan menuju puncak tertinggi yaitu Puncak Karua.
Guna memudahkan pergerakan dan meringankan beban kami untuk menuju Puncak Karua,
barang-barang kami tinggalkan di pos 7 pendakian. Selama perjalanan menuju
Puncak Karua, medan yang dilalui sebenarnya relatif mudah, namun menakutkan
karena hanya berupa akar-akar pohon berlumut yang saling bertumpuk dan bebatuan
besar yang licin, salah-salah bisa saja kami terpeleset dan terkilir atau
bahkan terperosok masuk dalam jepitan akar ataupun ke jurang.
Kurang lebih 2,5 jam perjalanan, tibalah kami di Puncak
Karua. Kedatangan kami di puncak sempat disambut oleh kelompok kecil burung
Kring-kring bukit/Golden-mantled
Racquet-tail (Prioniturus platurus)
atau lebih tepatnya mereka terkejut lalu terbang menjauh karena kedatangan kami
(hehehe). Sesaat setelah itu, salah satu anggota kami menemukan sebuah anggrek
dengan ukuran cukup kecil yang bernama Anggrek koribas (Corybas sp.). Vegetasi yang cukup rapat dengan pepohonan yang
menjulang cukup tinggi membuat suasana Puncak Karua terlihat sangat sejuk.
Setelah puas berfoto-foto di tugu Puncak Karua, kami pun memutuskan untuk
segera turun.
Hanya dengan waktu tempuh 60 menit saja kami sudah
sampai di pos 7 pendakian lagi. Segera setelah mengambil barang-barang yang
kami tinggalkan di situ, kami bergegas pulang menuju rumah Bapak Bagenda.
Ditengah perjalanan hujan kembali turun, namun kami tidak pedulikan itu, yang
ada dipikiran kami saat itu adalah “pokoknya hari ini harus sudah sampai di
rumah Bapak Bagenda sebelum gelap” jadi kami tetap melanjutkan perjalanan
menuruni Buntu Karua sambil berbasah-basah ria. Tidak lama hujan pun reda, dan
kami sampai di pos 4 pendakian. Jam tangan yang melingkar di tangan kiri saya
menunjukkan pukul 12.10 WITA. Perut kami mulai terasa lapar, namun jika harus
berhenti untuk memasak nasi dan istirahat makan, kami takut tidak sampai rumah
sebelum gelap. Akhirnya kami putuskan untuk berhenti sejenak untuk sekedar
makan mie instan mentah yang diremuk, dicampur bumbu. Setelahnya, kami pun melanjutkan
perjalanan pulang.
puncak kedelapan Buntu Karua |
Saat itu juga carrier
dan tas yang kami kenakan langsung kami lepas dan berlari kembali menuju arah
gunung untuk mencarinya. Sambil berteriak-teriak, dan melihat-lihat pergerakan
rerumputan atau daun-daun semak (maklum rumput dan semaknya cukup rimbun dan
tinggi) kami terus mencari. Lalu terpintas di pikiran kami, jangan-jangan dia
salah jalur ketika di persimpangan jalan setapak yang kami lewati tadi saat
salah satu dari kami berhenti untuk pipip.
Langsung saja kami menuju ke persimpangan itu. Dan benar saja, setelah
menyusuri persimpangan tersebut selama + 5 menit akhirnya kami
menemukannya. Dengan perasaan lega, kami lanjutkan kembali perjalanan pulang
kami sambil bercanda tentang kejadian yang baru saja terjadi.
Sekitar pukul 16.45 WITA, kami sampai di rumah Bapak
Bagenda, tapi pekerjaan belum selesai, dengan kondisi badan yang lelah dan
setengah basah akibat hujan yang mengguyur di tengah perjalanan, kami masih
harus membereskan alat-alat dan barang-barang bawaan kami serta puluhan sampel
anggrek yang kami bawa dari Buntu Karua. Yah,
itu lah secuil tugas kami sebagai tim peneliti flora-fauna Ekspedisi NKRI 2013
Koridor Sulawesi Sub Korwil Tana Toraja.