Welcome to My Blog

Orang bijak berkata, "Banyak baca, banyak ilmu yang didapat."
Semoga bermanfaat... :)

Thursday, October 2, 2014

Gunung Delapan, Buntu Karua

Perjalanan masih berlanjut. Singkat cerita, kami akan melanjutkan eksplorasi kami di salah satu gunung yang memiliki reputasi “misterius” di Toraja. Terletak di Lembang Balla’, Kecamatan Bittuang  dengan puncak tertinggi 2735 mdpl, tapi untuk mencapai puncak tertinggi itu kami harus melewati tujuh puncakan terlebih dahulu, sehingga total puncakan yang dilalui sebanyak delapan puncak. Inilah asal-muasal kata Karua sebagai nama dari buntu (gunung) tersebut, dimana “karua” itu sendiri memiliki arti “delapan”.
Diawali dengan “pemanasan” dengan berjalan-jalan (sambil eksplor data tentunya) di sumber air panas yang terletak di sekitar kaki gunung di hari pertama, dan lanjut jalan-jalan di sekitaran kaki Buntu Karua sisi yang lain pada hari kedua. Tibalah saat untuk packing alat, bersiap menjelajah rimbunnya hutan Buntu Karua. Dengan membawa perbekalan logistik secukupnya, alat-alat penelitian seperti binoculair, sweep-net dan sebagainya, serta senjata api yang masing-masing dibawa oleh personil dari TNI untuk pengamanan, kami memulai eksplorasi di Buntu Karua.
Berangkat dari rumah singgah milik Bapak Bagenda, seorang tetua adat di Lembang Balla’, kami langsung menuju ke jalur pendakian ke puncak Buntu Karua. Sesampai di pos 2 pendakian turunlah hujan, sehingga memaksa kami menghentikan perjalanan sejenak untuk sekadar berteduh dan istirahat sejenak sambil makan makanan ringan yang kami bawa. Begitu hujan reda, kami pun melanjutkan perjalanan. Sambil berjalan, tengok kanan-kiri, atas-bawah melihat dengan cepat dan cermat setiap sudut sisi pohon dan pergerakan untuk menemukan flora ataupun fauna yang menjadi target penelitian kami. Satu-persatu jenis-jenis anggrek baik epifit atau higrofit, burung-burung dan seekor mamalia kecil yang awalnya kami kira salah satu spesies bajing, ternyata seekor Kuskus kerdil sulawesi/Little Celebes Cuscus (Phalanger celebensis) kami temui.
Sesaat sebelum sampai di pos 5 pendakian kami berhenti dan tercengang sejenak melihat sebuah kenyataan bahwa di situ terdapat sebuah gubuk yang terbuat dari papan kayu kokoh dan beberapa papan kayu serta tahi gergaji yang berserakan bekas aktifitas logging kayu secara illegal. Tanpa pikir panjang, kami catat koordinat titik ini. Setiba di pos 5 kami putuskan untuk istirahat 15 menit melepas beban carrier sembari mengitari areal pos 5 mencari data flora-fauna di situ, tetapi kami hanya dapat menemukan (lagi-lagi) feses/kotoran Anoa yang masih cukup fresh (diperkirakan baru semalam) yang menandakan bahwa di areal tersebut masih bisa kita jumpai satwa yang satu ini.
Perjalanan dilanjutkan sampai pos 7 pendakian (puncakan ke 7) dan kami putuskan untuk beristirahat dan bermalam di situ karena hari sudah mulai gelap serta suhu udara yang semakin dingin. Bermodal 4 buah tenda perorangan (yang lebih pas disebut bivouac dalam Bahasa Perancis) kami bangun “rumah sementara” kami untuk 7 orang personil tim peneliti flora-fauna. Sambil berbalut baju hangat kami mulai memasak nasi dan lauk untuk makan malam didinginnya hawa malam gunung. Selepas makan malam, tanpa pikir panjang kami langsung tarik sleeping bag atau pun sarung sebagai penghangat tidur kami malam itu guna mempersiapkan tenaga dan stamina untuk kegiatan keesokan paginya.
suasana tempat istirahat malam
Sejak pukul 03.00 WITA kami semua sudah terbangun oleh suhu yang semakin dingin dan terasa menusuk tulang (meskipun sudah memakai baju hangat dan berbalut sleeping bag) namun masing-masing bertahan di dalam SB sebagai tempat ternyaman saat itu sembari menunggu fajar. Saking dinginnya, akhirnya salah satu dari kami berinisiatif untuk menyalakan api dan mulai memasak menu sarapan pagi dan satu-persatu dari kami beranjak dari “tempat nyaman” tersebut.
Selesai sarapan, kami langsung mengemas barang-barang kami dan segera melanjutkan perjalanan menuju puncak tertinggi yaitu Puncak Karua. Guna memudahkan pergerakan dan meringankan beban kami untuk menuju Puncak Karua, barang-barang kami tinggalkan di pos 7 pendakian. Selama perjalanan menuju Puncak Karua, medan yang dilalui sebenarnya relatif mudah, namun menakutkan karena hanya berupa akar-akar pohon berlumut yang saling bertumpuk dan bebatuan besar yang licin, salah-salah bisa saja kami terpeleset dan terkilir atau bahkan terperosok masuk dalam jepitan akar ataupun ke jurang.
Kurang lebih 2,5 jam perjalanan, tibalah kami di Puncak Karua. Kedatangan kami di puncak sempat disambut oleh kelompok kecil burung Kring-kring bukit/Golden-mantled Racquet-tail (Prioniturus platurus) atau lebih tepatnya mereka terkejut lalu terbang menjauh karena kedatangan kami (hehehe). Sesaat setelah itu, salah satu anggota kami menemukan sebuah anggrek dengan ukuran cukup kecil yang bernama Anggrek koribas (Corybas sp.). Vegetasi yang cukup rapat dengan pepohonan yang menjulang cukup tinggi membuat suasana Puncak Karua terlihat sangat sejuk. Setelah puas berfoto-foto di tugu Puncak Karua, kami pun memutuskan untuk segera turun.
Hanya dengan waktu tempuh 60 menit saja kami sudah sampai di pos 7 pendakian lagi. Segera setelah mengambil barang-barang yang kami tinggalkan di situ, kami bergegas pulang menuju rumah Bapak Bagenda. Ditengah perjalanan hujan kembali turun, namun kami tidak pedulikan itu, yang ada dipikiran kami saat itu adalah “pokoknya hari ini harus sudah sampai di rumah Bapak Bagenda sebelum gelap” jadi kami tetap melanjutkan perjalanan menuruni Buntu Karua sambil berbasah-basah ria. Tidak lama hujan pun reda, dan kami sampai di pos 4 pendakian. Jam tangan yang melingkar di tangan kiri saya menunjukkan pukul 12.10 WITA. Perut kami mulai terasa lapar, namun jika harus berhenti untuk memasak nasi dan istirahat makan, kami takut tidak sampai rumah sebelum gelap. Akhirnya kami putuskan untuk berhenti sejenak untuk sekedar makan mie instan mentah yang diremuk, dicampur bumbu. Setelahnya, kami pun melanjutkan perjalanan pulang.
puncak kedelapan Buntu Karua
Sampai di pos 1 pendakian kami merasa sangat senang, karena sebentar lagi kami sampai rumah, waktu pun masih menunjukkan pukul 14.45 WITA. Kami melanjutkan perjalanan dengan lebih semangat lagi dan mempercepat langkah kami sampai-sampai tidak memperhatikan kanan-kiri kami (barangkali ada data yang terlewat oleh kami saat awal pendakian). Hingga saat Dantim kami (Serda Ari Wibowo) yang berjalan di urutan tengah barisan bertanya ke personil yang paling belakang (saat itu saya dan Serda Mar Mat Jono) tentang kondisi salah satu anggota tim kami (Erlin). Spontan karena ketidaktahuan saya dan Pak Mat, kami pun menjawab, “Nggak tau pak, dia di depan kok”. Lalu Pak Ari pun bertanya ke personil barisan depan (Serda Akmal, Prada Emanuel dan Umi). Mereka pun menjawab dengan jawaban yang sama, “Nggak tau pak, kan dari tadi dia di belakang”. Sontak kami terkejut dan berteriak, “Erlin hilang!”.
Saat itu juga carrier dan tas yang kami kenakan langsung kami lepas dan berlari kembali menuju arah gunung untuk mencarinya. Sambil berteriak-teriak, dan melihat-lihat pergerakan rerumputan atau daun-daun semak (maklum rumput dan semaknya cukup rimbun dan tinggi) kami terus mencari. Lalu terpintas di pikiran kami, jangan-jangan dia salah jalur ketika di persimpangan jalan setapak yang kami lewati tadi saat salah satu dari kami berhenti untuk pipip. Langsung saja kami menuju ke persimpangan itu. Dan benar saja, setelah menyusuri persimpangan tersebut selama + 5 menit akhirnya kami menemukannya. Dengan perasaan lega, kami lanjutkan kembali perjalanan pulang kami sambil bercanda tentang kejadian yang baru saja terjadi.
Sekitar pukul 16.45 WITA, kami sampai di rumah Bapak Bagenda, tapi pekerjaan belum selesai, dengan kondisi badan yang lelah dan setengah basah akibat hujan yang mengguyur di tengah perjalanan, kami masih harus membereskan alat-alat dan barang-barang bawaan kami serta puluhan sampel anggrek yang kami bawa dari Buntu Karua. Yah, itu lah secuil tugas kami sebagai tim peneliti flora-fauna Ekspedisi NKRI 2013 Koridor Sulawesi Sub Korwil Tana Toraja.

Tuesday, June 3, 2014

Perjalanan Pertama di Bumi Toraja

Perjalanan pertama biasanya merupakan perjalanan yang berkesan, sarat pengalaman dan tak terlupakan. Ya, itulah yang tergambarkan dalam benak kami saat pertama kali melaksanakan eksplorasi data penelitian di Tana Toraja, tepatnya di Lembang Uluway Timur, Kecamatan Mengkendek. Selama masa penelitian kami di sana bersama tim peneliti kehutanan, kami menginap di rumah Kepala Lembang. Tongkonan sederhana (yang sebenarnya bisa dikatakan  bukan tongkonan lagi karena sudah tersentuh arsitektur modern) dikelilingi tanaman kopi robusta dan coklat milik pribadi serta jajaran Pegunungan Sinaji, Lapande’ dan Latimojong, sungguh merupakan hunian yang sangat nyaman bagi kami.
salah satu air terjun di Uluway Timur
Sesuai dengan namanya yang terdiri dari dua kata yakni “ulu” (air) dan “way” (jalan, tapi yang ini bukan bahasa inggris ya) sehingga jika diartikan menjadi “jalan atau jalur air”, Lb. Uluway Timur memang memiliki banyak sekali aliran air, terutama air terjun, di sini tercatat ada 3 air terjun, salah satunya adalah air terjun bersusun 3  bernama “Poang Toding” yang hanya berjarak sejauh 1 km dari rumah Kepala Lembang. Di sini lah kami beserta tim kehutanan melakukan “pemanasan” penelitian kami selama sehari dengan hasil yang bisa dibilang cukup memuaskan.
Singkat cerita, kami melanjutkan penelitian pada keesokan harinya. Kali ini masih kami lakukan bersama tim kehutanan dengan menuju air terjun yang dikabarkan memiliki ketinggian lebih dari 100 meter yang terletak jauh di dalam hutan dan melewati bekas Lb. Lapande’. Rencananya, kami melakukan perjalanan selama 3 hari dengan rincian 1 perjalanan menuju bekas Lb. Lapande’ sambil eksplorasi, 1 perjalanan menuju air terjun dan eksplorasi, 1 hari lagi untuk perjalanan pulang menuju rumah Kepala Lembang.
salah satu track berair yang harus tim lewati
Awal perjalanan, medan yang kami lalui terasa cukup berat dan susah, maklum namanya juga perjalanan pertama. Sampai-sampai ada salah satu anggota kami yang menangis saking susahnya, tapi itu tidak membuat kami patah arang, perjalanan tetap kami lanjutkan.
Menjelang sore, kami cuma mampu menembus setengah perjalanan saja karena sulitnya medan yang harus ditembus. Akhirnya kami putuskan untuk mendirikan camp sebelum mencapai titik yang kami targetkan dan melanjutkan perjalanan esok harinya. Setelah semalam beristirahat dengan berdingin-dingin ria di tengah hutan pegunungan Lapande’, kami melanjutkan perjalanan selepas sarapan. Jalan yang dilalui bukan semakin mudah karena memiliki lereng yang cukup terjal dan vegetasi pepohonan dan semak yang sangat rimbun sehingga sangat susah untuk ditembus. Sampailah kami di bekas Lb. Lapande’ sekitar pukul 9.30 WITA, kami memutuskan untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pada pukul 10.00. Semakin jauh, perjalanan semakin terasa menyiksa. Jalan dengan kemiringan cukup curam, pijakan yang hanya berupa akar pohon dan rambatan ranting, serta lebatnya semak yang menghadang semakin menghambat perjalanan kami.
foto tim sepulang dari hutan bekas Lb. Lapande'
Dengan berbagai pertimbangan terutama waktu-logistik-tenaga, akhirnya kami putuskan untuk “balik kanan”. Sekitar pukul 12.15 kami berhenti di aliran air terjun kecil untuk sekadar istirahat makan siang dan bersih diri alias mandi di aliran sungai yang jernih dan segar. Perjalanan kami lanjutkan sampai tiba di Lb. Uluway Timur. Meskipun target lokasi kami tidak tercapai, kami tidak pulang dengan tangan kosong, kami berhasil mendapat cukup banyak (sekitar 30-an) sampel spesies anggrek hutan baik anggrek epifit ataupun anggrek higrofit atau biasa disebut anggrek tanah.
Sebelum sampai di rumah Kepala Lembang, kami mampir sejenak di rumah warga yang menjadi guide kami untuk sekedar mengakrabkan diri dengan warga sambil minum kopi toraja yang termashur di dunia perkopian internasional serta “memborong” ayam peliharaannya untuk di potong di rumah Kepala Lembang. Pesta sederhana ala Flora-Fauna dan Kehutanan! :D
Setelah beberapa hari beristirahat sambil melakukan ekplorasi kecil di areal Lb. Uluway Timur, kami melanjutkan target eksplorasi kami di Buntu (gunung) Sinaji. Perjalanan kali ini tidak kalah menantang, diawali dengan melewati beberapa perkebunan milik warga, selangkah demi selangkah kami menuju ketinggian. Sambil berjalan, tak lupa kewajiban utama kami untuk meneliti tiap detil makhluk hidup yang kami lalui tetap kami laksanakan.
Dengan ekstra hati-hati kami melangkahkan kaki karena jalan yang dilalui cukup curam dengan kemiringan sekitar 45-60ยบ, tanah yang agak licin karena lumut dan hujan serta diapit jurang di kanan-kirinya, kami harus tetap celingak-celinguk, toleh kanan-kiri-atas-bawah dan sesekali menggunakan binoculair untuk mencari dan mengumpulkan foto ataupun sampel bermacam anggrek, Begonia sp., burung-burung serta flora-fauna lain yang ada.
Sampai di pos 3 pendakian, hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk mendirikan tenda, makan malam serta beristirahat untuk melanjutkan perjalanan esok paginya. Baru saja tenda selesai didirikan, hujan langsung turun dengan lebatnya. Wah, untung saja! :D\
Cikarak telinga-putih (Myza sarasinorum)
puncak Bt. Sinaji (2630 mdpl)
Esok paginya kami melanjutkan perjalanan dengan meninggalkan barang bawaan di pos 3 pendakian agar lebih mempercepat dan mempermudah langkah kami menuju puncak Buntu Sinaji. Pukul 12.45 WITA kami mencapai puncak, disambut oleh beberapa ocehan (yang sebenarnya lebih mirip mengerik) burung Cikarak telinga-putih (Myza sarasinorum) dan pekikan Elang-ular sulawesi (Spilornis rufipectus) yang merupakan satwa dilindungi dan endemik di Sulawesi ini. Sungguh pengalaman yang sangat berkesan. Puncak pertama kami di bumi Toraja, dengan ketinggian 2427 mdpl (yang tertulis di peta) atau 2630 mdpl (diukur menggunakan altimeter digital) memiliki cuaca yang cerah dan tiupan angin yang sejuk, hamparan awan dan pemandangan yang asri berasa berada di bawah kaki, menjadi perpaduan sempurna dan seakan menjadi bayaran yang setimpal bagi perjuangan kami. Setelah makan siang sejenak di puncak Sinaji, kami bergegas turun menuju Lb. Uluway Timur secepat yang kami bisa.
Sesampainya di pos 3, kami langsung mengemasi barang-barang bawaan kami dan langsung turun menuju rumah guide kami untuk beristirahat semalam. Perjalanan turun kami lebih “dipermudah” dan “cepat” karena saking seringnya kami terpeleset (ha ha ha, untung saja tidak terpeleset masuk jurang! :D). Pukul 17.30 kami tiba di rumah guide kami. Lega rasanya, karena lagi-lagi hujan turun dengan derasnya sesaat setelah kami sampai di rumah, sehingga kami tidak perlu sampai basah kuyup karena kehujanan (kami beruntung untuk kesekian kali, Alhamdulillah).
Banyak kesan yang kami rasakan, banyak juga pengalaman dan ilmu tambahan bagi kami, serta banyak nikmat yang kami dapat dari perjalanan kali ini. Kata salah satu anggota kami, perjalanan ini berjudul 50% semangat dan 50% akhirat. Yah, inilah perjalanan awal yang harus kami lakukan sebagai Tim Peneliti Flora-Fauna Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013 Sub-Korwil VII/Tana Toraja.


*panjang banget.  :D

Saturday, April 26, 2014

Momen Awal di Toraja

Tiga jam terbang di udara, bukan burung bukan juga serangga bersayap, tapi pesawat hercules yang mengangkut peserta Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013 dari Bandung menuju Makassar. Pukul 13.00 WITA 7 Maret 2013 kami tiba di Bandara Internasional Hassanuddin, Makassar. Itu lah saat pertama kalinya kaki saya menginjak tanah Pulau Sulawesi (*sebenernya bukan tanah juga sih, landasan pesawat terbang kan berwujud aspal). Setelah sedikit mengambil beberapa foto momen di sana, kami langsung menuju halaman depan bandara dan bertemu dengan personil dari daerah (yang kemudian disebut sebagai Tim Daerah) serta Letkol Buang Adri Aprianus  selaku Komandan Kodim (Dandim) Tana Toraja sekaligus Komandan Sub-Korwil (Dansub) VII/Tana Toraja. Setelah istirahat sejenak untuk makan siang dan sholat dhuhur, kami mendapat pengarahan singkat dari Dansub dan tepat pukul 14.00 WITA kami melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja, tempat kami bertugas. Pukul 18.00 kami tiba di Pare-Pare untuk istirahat makan sore (bukan makan malam ya) dan sholat maghrib untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja.
Suasana di Dalam Pesawat Hercules (short body) Selama
Perjalanan Menuju Pulau Sulawesi
Setelah 3 jam perjalanan udara dan dilanjutkan 8 jam perjalanan darat yang cukup membuat badan berasa remuk campur meriang (gegara terus terpapar angin yang cukup kencang dan dingin selama duduk di Truk), akhirnya saya beserta rombongan tim ekspedisi sampai di Posko Taktis (Poskotis) SK VII/Tator yang berada di lapangan umum Mapongka, Lembang (atau biasa kita kenal dengan "desa") Ge'tengan, Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja pukul 22.00 WITA. Di sana sudah berdiri 6 tenda barak yang akan menjadi kamar kami selama bertugas di sana. Setelah menurunkan muatan kami dari truk dan bis yang kami kendarai, kami langsung masuk ke dalam tenda barak masing-masing. Saya masuk ke dalam tenda 2 yang merupakan "tenda peneliti", tempat Tim Flora-Fauna, Tim Geologi dan Potensi Bencana, dan Tim Kehutanan. Tenda yang lain adalah tenda 1 (tenda jelajah) yang berisi personel Tim Penjelajah, tenda 3 (tenda sosial) yang berisi Tim Sosial-Budaya dan Tim Komunikasi Sosial, tenda 4 yang digunakan untuk tempat sholat/mushola, tenda 5 (tenda putri) dihuni oleh semua peserta putri yang ikut, dan tenda 6 (kosong) yang kemudian dibongkar karena memang tidak terpakai, serta 1 bangunan semi permanen berbentuk mennyerupai tongkonan (rumah adat suku Toraja) yang digunakan sebagai kantor poskotis (kotis).
Pagi pertama di Tana Toraja, barulah saya sadari kalau poskotis kami memiliki panorama yang sangat menawan. Sebuah lapangan luas yang berada di atas bukit, di kelilingi oleh lembah dengan daerah hunian masyarakat Lembang Ge'tengan, serta GANBASIL (Lembang Gandang Batu dan Lembang Silanan) di sisi barat dan utara dan di seberangnya terdapat bukit-bukit berbatu cadas yang tertutup hijaunya daun pepohonan. Di sebelah timur dan selatan dikelilingi jajaran bukit yang berbeda serta terdapat sebuah pabrik pengepul kopi terbesar di Toraja yang hasilnya biasa di ekspor dan dipasokkan ke waralaba kafe St*rbuck. *sensored :P
Di hari yang sama, kami melaksanakan korvey serta gladi kotor untuk upacara pembukaan ekspedisi di SK VII/Tator. Setelahnya kami mendapat paparan penjelasan lanjutan yang disampaikan oleh Dansub di kotis tentang keadaan atau gambaran umum di lapangan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan persiapan-persiapan yang lain.
Tarian Ma'gellu' Sebagai Sambutan Masyarakat Toraja Kepada
Tim Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013
9 Maret 2013 pukul 9.00 WITA, Upacara Pembukaan Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi Sub-Korwil VII/Tana Toraja dilaksanakan. Dipimpin langsung oleh Bupati Tana Toraja, upacara pembukaan yang dihadiri oleh seluruh peserta ekspedisi (baik tim pusat dan tim daerah), muspida, dan elemen masyarakat yang lain seperti siswa SD, SMP, SMA/K, dan mahasiswa berjalan dengan lancar dan meriah. Acara ditutup dengan pertunjukan tarian adat Toraja bernama Ma'gellu' yang biasa dipertunjukkan sebagai tari sambutan bagi tamu-tamu agung yang datang di bumi Toraja (wah, kami dianggap sebagai tamu agung, jadi sungkan nih, he he he) atau suasana gembira yang lain seperti pesta pernikahan, syukuran panen dan sebagainya. Sambutan yang meriah serta keramahan masyarakat Toraja membuat suasana semakin menyenangkan dan seakan meyakinkan kami jika kami pasti akan betah tinggal di sana selama kegiatan ekspedisi ini berjalan.



-akan bersambung pada cerita selanjutnya-

Wednesday, April 16, 2014

Awal Cerita

"Bagai sayur kurang garam, kurang enak, kurang sedap" sebuah cuplikan lirik lagu dangdut yang cukup familiar di telinga kita dirasa cukup untuk menggambarkan keadaan dimana ketika kita mengadakan kegiatan yang bersifat formal tapi tanpa didahului oleh sebuah prosesi pembukaan. Tidak ingin hal ini terjadi, maka panitia penyelenggara Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013 pun juga tak lupa menggelar Upacara Pembukaan Pra-Ekspedisi pada tanggal 21 Februari 2013 di lapangan upacara "tempat rahasia" (katanya sih musti gitu nyebutnya), Bandung. Bahkan demi upacara tersebut bisa berjalan dengan lancar, tepat sehari sebelumnya semua peserta diwajibkan melaksanakan gladi kotor dan dilanjut gladi bersih pada tanggal 21 pagi harinya, tepat sebelum upacara yang resmi berjalan.
Kasad bersama Tim Ekspedisi NKRI 2013 Koridor Sulawesi
Pukul 09.00 WIB hari Kamis tanggal 21 Februari 2013, Upacara Pembukaan Pra-Ekspedisi dilaksanakan. Dipimpin langsung oleh Danjen Kopassus dan diliput oleh berbagai macam media masa, upacara yang berjalan selama +/- 1 jam ini berlangsung dengan khidmat. Dengan diresmikannya kegiatan pembekalan/pra-ekspedisi ini, maka sejak saat itu pula serangkaian agenda pembekalan wajib dilaksanakan oleh semua elemen yang berkecimpung dalam Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013 baik dari sisi militer, polri, dan sipil. Di malam harinya, saya sempat mendapat "kejutan" dengan dikerjai oleh orang-orang yang ada di barak (mengingat hari itu juga bertepatan dengan hari ulang tahun saya). Sebenarnya hal ini sudah bisa saya duga, untung saja saya tidak diceburkan di danau ataupun disiram dengan air. Widiiih, nggak kebayang tuh, bagaimana dinginnya kalau sampai diceburin atau disiram.
Rutinitas awal dimulai dari senam pagi dan lanjut lari-lari dari lapangan menuju pintu angin kembali lagi ke lapangan, bersih-bersih lingkungan atau yang biasa disebut "korvey" (*gak tau tuh gimana ejaan yang benernya, he he he) di areal "tempat rahasia". Rundown kegiatan berikutnya adalah yang paling disukai oleh semua peserta, yaitu makan pagi. Meskipun harus antri sepanjang rangkaian kereta (bahkan mungkin lebih panjang antrian ini), hal ini tidak menyurutkan animo pesrta untuk tetap antri (ha ha, ya jelas lah, orang laper koq :P). Setelah makan dan bersih diri, semua peserta diharuskan mengikuti materi pembekalan sesuai jadwalnya baik di kelas besar (aula) untuk menerima paparan/materi umum atau pun ke kelas kecil untuk menerima materi khusus mengenai bidang penelitian masing-masing (untuk tim peneliti).
Agenda istirahat-sholat-makan siang juga tidak kalah seru. Pada waktu ini, tak jarang dari peserta langsung menyerbu kantin yang berada di sisi Danau/"tempat rahasia" sambil memesan mie instan dan minuman panas atau bahkan hanya sekedar duduk santai meskipun makan siang sudah disediakan. Banyak alasan bagi mereka untuk berbondong-bondong ke kantin, di antaranya karena: ada yang sekedar pengen ngobrol santai dan saling mengakrabkan diri dengan kenalan-kenalan baru; ada yang tidak suka menu makanannya (menu makan siang adalah T2, red); ada lagi alasan karena di kantin lebih hangat; disuhu yang dingin butuh asupan kalori lebih banyak selain asupan kalori dari T2, dan lain sebagainya. Semua alasan tersebut masuk akal juga sih, mengingat suhu di sana memang super dingin. Bahkan saat saya di sana selama 17 hari, saya hanya bisa berkesempatan merasakan hangatnya sinar matahari sebanyak dua kali masing-masing selama +/- 1,5 jam saja, selebihnya hanya ada kabut dan hujan. Waw :D
Setelah ishoma, agenda dilanjutkan dengan materi lagi sampai sore sambil berdingin-dingin ria di dalam kelas. Selesai materi, tiba waktunya istirahat-sholat-makan malam. Suasana makan malam di aula biasanya tak semeriah dan seriuh makan pagi, karena waktu yang lebih longgar dan santai maka antrian biasanya juga tidak terlalu panjang dan makanan biasanya dihabiskan di dalam barak penginapan (biar lebih hangat ceritanya). Meski begitu, bagi beberapa orang peserta, dinginnya malam tempat itu tak menghalangi mereka untuk berkumpul di kantin. Ditemani segelas minuman hangat ataupun minuman panas, sambil ngobrol-ngobrol santai tentang semua hal yang bisa diceritakan, seperti kegiatan yang sudah dilaksanakan siang tadi, kegiatan yang akan dilaksanakan di lokasi ekspedisi, kegiatan di kampus masing-masing, dan lain-lain, apapun itu pokoknya bisa dijadikan bahan obrolan.
Di pertengan hari pembekalan, peserta dipersilahkan "liburan" atau istilahnya "pesiar" turun ke kota untuk berbelanja keperluan tambahan yang dibutuhkan saat pembekalan dan ekspedisi berjalan. Hal ini pun tak disia-siakan oleh peserta, secara bergantian peserta ijin pesiar secara rombongan dengan menggunakan truk yang telah disediakan. Tidak sedikit juga yang tidak turun tapi cuma nitip untuk dibelikan.
reptil yang ditemukan saat simulasi praktikum lapangan
Di hari-hari akhir pra-ekspedisi, saatnya simulasi-simulasi praktikum lapangan dijalankan. Tim Peneliti Flora-Fauna "kebagian" di areal hutan utara aula. Kami melaksanakan simulasi praktikum penelitian herpetofauna, herbarium, dan penghitungan stok karbon. Sedangkan tim peneliti yang lain... mmm... saya tidak tahu... he he... yang jelas, mereka juga melaksanakan simulasi praktikum lapangan sesuai bidang penelitian masing-masing. Eh iya, ada yang terlewat. Sebelumnya, sempat terjadi bongkar-pasang personil (peserta sipil) di masing-masing sub-korwil, dan personil fix untuk SK VII/Tator adalah sebagai berikut: Happy, Umi, dan Erlin (Tim Peneliti Flora-Fauna); Uda (Tim Peneliti Kehutanan); Ryan, Okta, dan Bang Didik (Tim Peneliti Geologi dan Potensi Bencana); Rury, Otong, Dede, Arum, dan Yayuk (Tim Peneliti Sosial-Budaya); serta Arya, Vian, Lay, Vira, Munief, dan Meta (Tim Komunikasi Sosial). Mereka inilah tim pusat yang siap diterjunkan di lapangan penugasan.
Jika ada  upacara pembukaan, tentu ada juga upacara penutupan. Tepat pukul 9 pagi tanggal 5 Maret 2013, Upacara Penutupan Pra-Ekspedisi dilaksanakan di tempat yang sama. Setelah upacara selesai, acara selanjutnya adalah sesi foto bersama yang kemudian dilanjutkan dengan pemberangkatan ke Pusdikpassus di Batujajar lagi untuk persiapan keberangkatan menuju sub-korwil masing-masing.
Kebetulan SK VII/Tator mendapat "jatah" keberangkatan kloter ketiga pada tanggal 7 Maret 2013, sehingga kami mendapat waktu lebih untuk berpesiar di Bandung (lumayan :D). Waktu luang yang ada dimanfaatkan oleh peserta untuk berbagai macam kegiatan, ada yang sekedar di Pusdikpassus saja dan sekali-kali jalan-jalan ke luar, ada yang jalan-jalan keliling Bandung, ada yang pulang ke rumah untuk berpamitan dengan keluarga, ada juga yang plesiran ke luar kota, dan sebagainya.
Tanggal 7 Maret 2013, pukul 4 pagi, kami sudah berkumpul dan bersiap menuju bandara untuk kemudian lanjut menuju Sulawesi menggunakan pesawat hercules. Namun ketika kami sampai di bandara, pesawat yang akan mengalami keterlambatan. Alhasil, kami pun harus menunggu sedikit lebih lama untuk keberangkatan, namun itu tidak menyurutkan semangat kami untuk menuju lapangan tempat kami diterjunkan, yaitu pulau yang bernama Sulawesi. Pukul 9 pagi kami bergegas naik ke dalam pesawat hercules dengan sebelumnya melaksanakan seremonial pemberangkatan dan mendapat sedikit pengarahan oleh pilot yang menerbangkan pesawat kami. Akhirnya pesawat lepas landas, kami yang tergabung dalam Tim Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi Sub-Korwil VII/Tana Toraja beserta SK VIII/Gowa dan SK IX/Kolaka pun berangkat. Dari sini, petualangan kami di bumi Tana Toraja, Sulawesi Selatan akan dimulai! :D

.........To Be Continued